Friday, January 9, 2015

Mengapa Negara tidak Mencetak Uang Sebanyak-Banyaknya Untuk Mengatasi Kemiskinan?


Mencetak uang sebanyak banyaknya, ini dia logikanya

Sejak kecil saya selalu berfikir seperti itu, kemiskinan dimana mana kenapa tidak mencetak uang sebanyak banyaknya lalu dibagikan kepada orang yang tidak mampu? selesai kan masalahnya? karena penasaran dari dulu saya ingin mencari info tentang ini tetapi selalu lupa tapi tadi saya lihat ada thread di kaskus yang membahas ini jadi ya dicopas aja deh ini dia alasannya kenapa suatu negara tidak mencetak uang sebanyak banyaknya :

Dalam menerbitkan atau mencetak uang, terdapat dua macam sistem, yang disebut “pseudo gold” dan “uang fiat”. Dalam sistem pseudo gold, uang yang dicetak dan beredar didukung dengan cadangan emas atau perak yang dimiliki badan yang menerbitkannya. Sedangkan dalam sistem uang fiat, uang yang beredar tidak didukung aset yang riil, bahkan tidak didukung apa-apa. Artinya, dalam sistem fiat, pemerintah atau badan yang menerbitkan uang bisa mencetak uang sebanyak apa pun sesuai keinginan.

Dalam ekonomi, kita tahu, harga barang akan tergantung pada perbandingan jumlah uang dan jumlah persediaan barang. Jika barang lebih banyak dari jumlah uang yang beredar, maka harga akan cenderung turun. Sebaliknya, jika jumlah barang lebih sedikit dibanding jumlah uang yang beredar, maka harga-harga akan cenderung naik. Karena itulah, pencetakan uang secara tak langsung juga ditentukan oleh hal tersebut, agar tidak terjadi inflasi.

Apabila suatu negara—dengan alasan miskin—mencetak uang sebanyak-banyaknya, yang terjadi bukan negara itu menjadi kaya, tetapi justru akan semakin miskin. Karena, ketika jumlah uang yang beredar semakin banyak, harga-harga barang akan melambung tinggi, dan inflasi terjadi. Akibatnya, meski uang dicetak terus-menerus, uang itu tidak bisa disebut kekayaan, karena nilainya terus merosot turun.

Indonesia juga pernah melakukan pencetakan uang dalam jumlah banyak, pada masa kepresidenan Soekarno. Karena pemerintah belum bisa maksimal memungut pajak dari rakyat waktu itu, Soekarno pun mengambil kebijakan untuk mencetak uang secara berlebih. Hasilnya tentu inflasi. Semakin banyak uang dicetak, harga barang semakin tinggi, dan terjadi hiperinflasi. Finish-nya, kita tahu, adalah demonstrasi yang terkenal dengan sebutan Tritura (tiga tuntutan rakyat), yang salah satunya permintaan agar harga-harga diturunkan.

Kasus yang terbaru terjadi di Zimbabwe. Pada 2008, pemerintah Zimbabwe mengeluarkan kebijakan untuk mencetak uang dalam jumlah sangat banyak, yang ditujukan untuk memperbanyak pegawai negeri yang diharapkan akan mendukung pemerintah. Hasilnya adalah inflasi yang gila-gilaan. Negara itu bahkan memegang rekor dalam hal inflasi tertinggi di dunia, yaitu 2.200.000% (2,2 juta persen) pada 2008.

Sebegitu cepatnya tingkat inflasi terjadi, hingga kenaikan harga di Zimbabwe tidak terjadi dalam hitungan minggu atau bulan, tetapi menit bahkan detik. Dalam setiap beberapa detik, para pegawai di toko-toko Zimbabwe terus sibuk mengganti label-label harga pada barang-barang yang mereka jual, karena terus terjadi pergantian harga akibat inflasi yang menggila.

Pada 20 Juli 2008, bank Zimbabwe bahkan menerbitkan pecahan uang senilai 100 milyar dollar, yang merupakan rekor pecahan uang dengan nominal terbesar di dunia. Uang dengan nominal besar itu, ironisnya, tidak memiliki nilai yang sama besarnya, karena digerus oleh inflasi akibat harga-harga yang melambung luar biasa tinggi. Untuk membeli sembako, misalnya, orang di Zimbabwe harus membawa uang sampai seember.

Jadi, negara miskin (ataupun negara yang tidak miskin) tidak mencetak uang dalam jumlah berlebihan, karena adanya pertimbangan seperti yang digambarkan di atas.



Kenapa Suatu Negara Tidak Mencetak Uang Sebanyak-Banyaknya?

Saya yakin anda pasti sering mendengar tentang hutang negara yang menumpuk serta angka kemiskinan yang sangat besar, baik di TV ataupun media massa lainnya. Mungkin sebagian dari anda pernah berpikir atau kepikiran bagaiman kalau Indonesia mencetak uang saja semaunya, untuk melunasi hutang negara maupun memberantas kemiskinan ataupun mengembalikan uang korupsi yang hilang. Dengan begitu semuanya beres, kan??

Saya juga pernah berpikir seperti itu, kemudian saya sempat kepikiran apa resiko dan konsukensi di balik semua itu. Oke, misalkan Indonesia mencetak uang sebanyak banyaknya, semua rakyat dapat hujan uang, perorangnya bisa dapat goni-an. Pertanyaan sekarang, siapa yang mau capek kerja sedangkan sudah ada jaminan uang untuk hari kedepannya??Siapa yang mau sukarela jadi petani kerja di siang hari padahal uang sudah ada di tangan??

Oke, kita misalkan, rakyat Indonesia tidak ada yang mau jadi petani. Pertanyaan kedua, kita mau maka apa sedangkan makanan pokok berasal dari sektor pertanian??

Selain yang diatas tadi, saya juga dapat akan terjadi inflasi, yaitu kenaikan harga barang barang di pasaran. Nemu juga yang seperti ini:

“uang itu bukanlah semata-mata kertas yang dicetak atau metal yang dibentuk menjadi koin, tapi juga memerlukan jaminan yang bersifat riil. jadi untuk setiap rupiah resmi yang beredar ada sejumlah barang berharga (biasanya berbentuk emas, Emas dipilih karena sifatnya yang stabil, tahan cuaca, tidak berkarat, dll, dll dan juga karena mudah dipecah tanpa mengurangi nilainya) sebagai bentuk riilnya, yang disimpan di bank nasional (BI).
rasio antara uang yang dicetak dan jumlah uang yang beredar adalah salah satu cara menentukan nilai suatu uang. oleh karena itu bila uang yang beredar ditambah tapi jaminannya tidak ditambah maka nilai uang akan turun (inflasi). akibatnya bila biasanya Rp. 1.000 bisa membeli x barang, setelah uang mengalami inflasi Rp.1.000 hanya bila membeli 1/2 x.
dengan kata lain jumlah uangnya banyak tapi nilainya enggak ada, kalau nilainya enggak ada maka negara lain tidak mau menerima uang kita. ujung-ujungnya utang tidak terbayar dan bbm tak terborong.”

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.