Ponsel yang terkoneksi BTS, meski tidak digunakan berkomunikasi, tetap aktif mencari sinyal.
Berita nasional dua hari ini berisi tentang kecaman yang diterima Kepala Dinas Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Bangka Belitung (Babel) Zakaria Umar Hadi yang dikenakan Pasal 351 KUHP setelah memukul pramugari salah satu penerbangan nasional.
Tersebab? Zakaria kesal karena ditegur Nur Febrianti --nama si pramugari-- untuk mematikan ponselnya saat pesawat akan lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta sekitar satu jam sebelumnya. Seharusnya Zakaria berterima kasih bahwa Nur Febrianti melakukan tindak pencegahan kecelakaan yang menyelamatkan nyawa pejabat ini dan seluruh penumpang lainnya.
"Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan: Pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan." Demikian bunyi pasal 54 butir (f) dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Dua dekade sebelumnya, tepatnya pada 1988, Radio Technical Communication Aeronautics (RCTA), juga telah merekomendasikan larangan menggunakan peralatan elektronik portablepada saat pesawat lepas landas dan mendarat.
Nyatanya, ada saja penumpang yang tidak menonaktifkan atau mengatur flight mode ponsel dalam kabin pesawat. Padahal peraturannya disosialisasikan di mana-mana, dari tiket sampai kabin pesawat.
Si penumpang tidak menyadari, "Saat pesawat lepas landas dan mendarat adalah ‘masa kritis’ di mana posisi pesawat berada dekat daratan," kata Asep Djuanda, Captain Boeing 737 900 ER. "Pada masa itu pilot tidak ingin ada gangguan apapun, terutama pada instrumen navigasi penerbangan akibat pengaktifan ponsel dan laptop."
Baik ponsel maupun sistem komunikasi pesawat sama-sama mengandalkan frekuensi. Ponsel yang terkoneksi Base Transceiver Station (BTS), meski tidak digunakan berkomunikasi, tetap aktif mencari sinyal. Sementara pilot berkomunikasi dengan Air Traffic Control (ATC) yang mengatur lalu lintas udara.
Terjadinya benturan gelombang elektromagnetik akan menimbulkan noise yang mengganggu sistem komunikasi pesawat dan membuat pilot kesulitan mendengar instruksi dari ATC.
R Heru Triharjanto dari Air Safety Investigantion pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi dalam kolomonline-nya menyimpulkan, kecelakaan pesawat akibat interferensi peralatan elektronik portable memang masih diperdebatkan— hanya 0,08 persen menurut hasil penelitian NASA pada Januari 1986 - Juni 1996.
Namun demi keselamatan penerbangan, lebih baik penumpang tidak mengambil risiko apapun, termasuk mengaktifkan peralatan elektronik portable yang berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan.
Pelanggaran lain yang juga kerap terjadi dalam kabin: penumpang bergegas mengambil barang di kompartemen, padahal lampu tanda kenakan sabuk pengaman belum dipadamkan, karena pesawat sedang taxi atau berjalan menuju landasan atau sebaliknya.
Penumpang tidak menyadari, selagi taxi, kecepatan pesawat 30 knot (60 kilometer per jam), dan bila moda transportasi udara berbobot 80 ton ini terpaksa mengerem, dipastikan penumpang yang berdiri akan terpental dan mengalami luka memar.
(Kisah lengkapnya dapat dilihat di National Geographic Traveler edisi April 2012 bertajuk "Menumbuhkan Kesadaran Kolektif").
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.