Akhir-akhir ini, cuci otak atau brainwash menjadi salah satu tema pembicaraan di masyarakat kita. Setelah beberapa bulan lalu tema ini mengemuka akibat praktek ini diduga digunakan aktifis Negara Islam Indonesia (NII) untuk mencari kader. Kini, praktek itu disinyalir sedang dilakukan kepada M. Nazaruddin untuk menghanguskan fakta-fakta terkait korupsi yang diketahuinya. Lalu, apa dan bagaimana sebenarnya praktek cuci otak itu?
Cuci otak merupakan sebuah upaya rekayasa pembentukan ulang tata berpikir, perilaku dan bahkan kepercayaan tertentu menjadi tata nilai baru. Praktek ini telah dikenal dan dipraktekkan sejak sebelum Perang Dunia II. Saat itu, praktek ini menjadi modus utama bagi tentara Jerman untuk menumbuhkan dan mengkokohkan semangat para prajurik sejak masih remaja untuk membentuk mental prajurit yang tahan banting, loyal dan selaras dengan haloan Partai NAZI saat itu. Saat itu, praktek cuci otak dilakukan dengan metode ilmiah dengan melibatkan psikolog. Para psikolog itu sebenarnya juga punya kepentingan, yakni menjadikan para prajurit itu sebagai 'kelinci percobaan' atas temuan-temuan ilmiah terbarunya seputar ilmu psikologi.
Semua metode cuci otak yang digunakan saat itu pada umumnya membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menanamkan ide tertentu kepada seseorang atau komunitas yang hendak dicuci otak. Secara praktis, metodenya biasanya dengan memberikan banyak fakta yang bisa diterima oleh otak seseorang yang hendak dicuci otak, kemudian menyusupkan satu ide yang hendak ditanamkan. Sehingga, ide itu kemudian diterima sebagai sebuah kebenaran sebagaimana fakta-fakta itu dan lalu mengendap di pikiran bawah sadar mereka. Cara lain yang lebih modern juga biasanya dengan memasukkan informasi-informasi yang sudah disusupi ide tertentu melalui sarana audio-visual dan bersifat terfokus. Hipnotis dengan memasukkan sugesti-sugesti tertentu yang di dalamnya diselipkan ide-ide tertentu juga bisa menjadi metode lain dalam praktek pencucian otak.
Biasanya, sejak dulu cuci otak digunakan sebagai metode untuk menumbuhkan semangat juang dan solidaritas kelompok. Namun, entah kenapa kini menjadi semacam modus penghilangan bukti.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.